1 Desember, Tahanan Politik Papua di Fakfak Desak Perundingan

Tahanan Politik Papua di Fakfak desak perundingan antara pemerintah pusat dengan faksi-faksi gerakan Papua Merdeka.
Simon Tuturop, Tapol Papua, menyampaikan untuk menghindari konflik dengan pertumbahan darah dan campur tangan asing, sebaiknya pemerintah Jakarta bersedia berunding atau berdialog dengan orang Papua.
“Kami tidak perlu pertumbahan darah, daripada campur tangan bangsa asing itu merugikan kita semua, kami pikir yang paling baik, segala masalah seperti yang biasa pemerintah katakan sebagai masalah dalam negeri, kami mohon pemerintah membuka dialog antara pemerintah dengan para pejuang, baik itu bekas tahanan politik ataupun faksi-faksi yang pernah memproklamasikan negeri ini sebagai negara merdeka!” demikian dinyatakan Tuturop.


Menurut Simon Tuturop, perundingan atau dialog ini seharusnya tidak mengikutkan pihak veteran Indonesia karena veteran justeru tidak menyelesaikan masalah politik Papua. Buktinya, masih terjadi aksi-aksi protes dan tuntutan Papua Merdeka sampai sekarang.
Simon Tuturop dan 5 rekannya saat ini berada dalam tahanan Lembaga Pemasyarakatan Fakfak, setelah ditangkap dan diadili karena berunjuk rasa dengan mengibarkan Bendera Bintang Kejora tahun 2008 lalu. Pengadilan Negeri Fakfak telah menjatuhkan hukuman penjara paling lama 1,5 tahun, namun proses banding Kejaksaan Negeri Fakfak berhasil memutuskan hukuman penjara 4 tahun. Saat ini, belum ada kepastian hukum atas upaya Kasasi di Mahkamah Agung oleh Kuasa Hukum para terdakwa ini.
Monotoring eLSHAM Fakfak
Sementara itu, pemantauan yang dilakukan oleh Lembaga Studi dan Advokasi HAM Papua (eLSHAM) Postkontak Fakfak, menemukan adanya aktifitas pengamanan yang meningkat oleh aparat Kepolisian di Fakfak. Misalnya, aparat Polisi terus-menerus memantau tiang bendera di halaman SMK Negeri Fakfak dan SMP Negeri 3 Fakfak di Distrik Fakfak Barat, sepanjang malam menjelang tanggal 1 Desember. Begitu pula di beberapa wilayah distrik yang lain.
Koordinator eLSHAM Fakfak, Fredy Warpopor, menyampaikan, sejak lama masalah politik Papua menjadi lahan pelanggaran HAM. “Seperti di Fakfak, tidak ada kebebasan berekspresi, unjuk rasa menyampaikan protes dan pendapat politik yang berbeda dianggap sebagai gerakan melawan pemerintah. Lalu disikapi oleh aparat keamanan di lapangan dengan kekerasan!” Aparat juga memata-matai aktifitas keseharian warga. Warga yang pergi ke kebun, lazimnya membawa serta peralatan kebun seperti parang, tombak dan panah dicurigai sebagai separatis. “Apalagi menjelang tanggal 1 Desember, aparat keamanan siaga penuh!” jelas Warpopor.

(Alex Tethool)

1 comments

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.